Dili - Siang itu matahari sedang terik-teriknya, menyambut pesawat yang ditumpangi detikFinance dan rombongan, yang akhirnya mendarat di Bandara Internasional Presidente Nicolau Lobato di Dili, Timor Leste pada pukul 11.24 waktu setempat. Hamparan laut biru tosca, bukit-bukit yang gundul, dan deretan pohon pisang menyambut kami di bandara itu.
Negara kecil di Pulau Timor yang berbatasan langsung dengan daratan Nusa Tenggara Timur (NTT) tersebut kami tempuh lewat jalur udara dari Bali. Perbedaan waktu dua jam dari Jakarta, tak cukup membuat Dili berbeda dengan wilayah-wilayah Indonesia kebanyakan.
Suhu udara yang cukup panas membuat Dili tampak gersang. Ditambah lagi, air laut yang biasa membasahi pinggiran pantai di sepanjang Dili tengah surut. Timor Leste memang dikenal dengan suhu panasnya yang terjadi hampir sepanjang tahun, tapi ini tak menghalangi minat kami untuk melihat ibu kota negara yang pernah menjadi provinsi ke-27 Republik Indonesia ini.
Di sepanjang perjalanan, ada rasa bangga ketika melihat sejumlah logo-logo BUMN Indonesia memadati baliho-baliho di jalan. Mulai dari Bank Mandiri, Telkomsel (di Timor Leste disebut Telkomcel), BRI, dan lainnya.
"Pembangunan di sini memang didominasi sama BUMN Indonesia. Kita berperan penting terhadap pembangunan yang terjadi di Timor Leste. Bisa dilihat BUMN Indonesia ini komplit ada di sini, Hutama Karya, Waskita, WIKA, PT PP, Adhi Karya. Bikin jalan, perumahan, gedung sampai bioskop pun ada di sini," kata Duta Besar RI untuk Timor Leste, Sahat Sitorus, saat ditemui di kantor KBRI Timor Leste, Dili, Selasa (19/9/2017).
Beberapa proyek seperti pembangunan jalan, jembatan, bandara hingga pembangkit listrik digarap oleh BUMN, seperti Wijaya Karya (Wika), Waskita Karya, dan Brantas Abipraya. Misalnya Gedung Kementerian Keuangan Timor Leste yang dibangun oleh PT PP, Jembatan Koro yang dibangun oleh Wika dan masih banyak lagi. Maklum saja, negara yang baru dideklarasikan kemerdekaannya oleh PBB pada 2002 ini masih tergolong muda dan tak punya sumber daya yang cukup untuk membangun sendiri.
"Dia tidak produktif, tidak ada produksi. Hanya petani, ikan juga tidak punya kapal. Jadi dia hanya berharap minyak di celah Timur. Tapi kan itu perlu eksplorasi," kata Sahat.
Memang sejak 2011 Timor Leste sudah menandatangani kerja sama untuk menerima pelatihan dan pembangunan di bidang infrastruktur dari Indonesia. Proyek infrastruktur yang sudah dan tengah dikerjakan di Timor Leste meliputi infrastruktur air, jalan, jembatan, perumahan dan permukiman berikut pembiayaannya. Selain itu, dilakukan pula pengembangan infrastruktur perkotaan, penelitian dan pengembangan sumber daya manusia di bidang konstruksi.
"Total nilai perdagangan di Timor Leste US$ 580 juta, kita (Indonesia) itu sudah US$ 270 juta. Jadi porsi kita lebih dari 50%," ungkapnya.
Padahal sebelumnya, semenjak merdeka, pemerintah Timor Leste berusaha memutuskan segala hubungan dengan Indonesia, antara lain dengan mengadopsi Bahasa Portugis sebagai bahasa resmi, dan mendatangkan bahan-bahan kebutuhan pokok dari Australia sebagai "balas budi" atas campur tangan Australia menjelang dan pada saat referendum kemerdekaan.
Selain itu, pemerintah Timor Leste mengubah nama resminya, dari Timor Leste menjadi Republica Democratica de Timor Leste, dan mengadopsi mata uang dolar AS sebagai mata uang resmi.
Sumber : detik.com
Post Date : 21 September 2017 | Create By : admin